Blog Pakpak

Selasa, 18 September 2012

" KEMIRIPAN BAHASA DAN ADAT BUDAYA YANG MELAHIRKAN PRESEPSI YANG KELIRU "



Suku-suku yang bermarga yang berada di Pulau Sumatera bahagian Utara, yaitu Suku Pakpak, Suku Batak, Suku Karo, Suku Mandailing, Suku Nias mempunyai kemiripan atas bahasa dan adat budaya meskipun kemiripan itu sangat sedikit jika dibanding dengan perbedaannya.

Saya mengatakan ini tak terlepas dari prespektif dan kacamata saya selaku seorang suku Pakpak. Saya bukanlah ahli sejarah namun demikian saya meyakini semua orang pasti tau akan sejarah minimal sejarah keluarganya, sejarah sukunya, sejarah bangsanya.

Perlu sedikit saya jelaskan, menurut pandangan suku Pakpak, suku Batak adalah suku Toba yang didaerah Pakpak disebut dengan “ Suku Tebba atau Kalak Tebba “. Suku Pakpak tidak mengakui kalau disebut sebagai “ sub suku “ tapi suku Pakpak adalah suku yang berdiri sendiri, mempunyai sejarah asal usul tersendiri.

Banyak pihak yang mempertanyakan, kenapa ada kemiripan dalam bahasa, adat budaya antara Suku Pakpak, Suku Batak Toba, suku Karo, dll suku yang bermarga di Sumatera wilayah Utara ?

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya assimilasi atau percampuran budaya antara lain.

1.       Pengaruh  kedekatan letak wilayah.
Letak wilayah Suku Pakpak, Suku Batak Toba, Suku Karo adalah berbatasan, hingga dalam prakteknya hampir setiap saat terjadi intraksi sosial atau hubungan langsung antara orang Pakpak, orang Toba dan Orang Karo dll, dan akibat terjadinya interaksi antar orang berbeda suku ini maka terjadi proses assimilasi atau percampuran budaya, baik bahasa dan adat budaya.
Contoh : istilah Thanks atau terima kasih, ini asli bahasa Inggris tapi seolah-olah telah memasyarakat di Indonesia, contoh lain istilah Hallo yang diadopsi dari Bahasa Inggris.
Konsekwensi terjadinya intraksi sosial secara langsung ini maka terjadi pula perkawinan campur yang berhubungan dengan tata cara upacara adat yang digunakan dalam perkawinan tersebut.
Kedekatan wilayah juga mengakibatkan terjadinya migran atau perpindahan penduduk yang dikenal istilah “ merantau “. Banyak orang Pakpak yang merantau di Tanah Batak Toba (daerah Tapanuli) atau ke Tanah Karo, dan sebaliknya orang Batak Toba dan Karo yang datang migran ke Tanah Pakpak.
Kedatangan para migran ini sudah barang tentu mempunyai potensi untuk merubah bahasa dan adat budaya hingga ada kemiripan.

2.       Pengaruh masuknya agama
Dalam catatan sejarah kekristenan di Sumatera bagian Utara, dikenal dengan Misionaris dari Jerman yaitu Nomensen. Misionaris penyebar agama Kiristen dalam upaya penyebarannya menggunakan  bahasa dan adat masyarakat setempat agar penyebaran cepat diterima oleh masyarakat atau para jemaat pengikut Kristen.
Daerah-daerah yang pertama dimasuki oleh Para Misionaris adalah Tapanuli Utara dan Tapanuli Selatan dan secara faktual upaya penyebaran agama kristen cepat berkembang di daerah tersebut.
Ketika agama Kristen diperluas ke daerah lain seperti Tanah Pakpak dan Tanah Karo, sistim dan cara-cara penyebaran di Taput dan Tapsel  diterapkan di daerah garapan baru yaitu Tanah Pakpak dan Tanah Karo, bahakan sudah banyak orang Tapanuli yang diikut sertakan oleh Misionaris dari Jerman ke Tanah Pakpak dan Tanah Karo.
Pengaruh datang atau penyebaran agama Kristen di Tanah Pakpak dan Karo sudah barang tentu mengakibatkan terjadinya assimilasi budaya, terjadinya persamaan bahasa, persamaan adat dan budaya.

3.       Pengaruh Kolonialis Penjajah Belanda.
Semua daerah di Sumatera wilayah utara dimasuki Penjajah Belanda, dan menurut sejarah daerah yang terakhir dimasuki adalah Tanah Pakpak.
Karna daerah Pakpak ketika itu belum di masuki Belanda maka daerah ini dijadikan oleh Sisingamangarja XII sebagai basis pertahanan yaitu di daerah Gunung Simpon (Delleng Simpon) perbatasan antara Ulumerah Pakpak Bharat dengan Batu Gajah Kecamatan Parlilitan Humbas.
Seluruh masyarakat di berbagai daerah jajahan merasa senasip dan sependeritaan hingga terbentuk beberapa kelompok pergerakan untuk melawan penjajah.
Kelompok-kelompok pergerakan ini banyak yang terbentuk secara spontan tanpa mempermasalahkan suku, kelompok-kelompok ini sangat banyak baik bersifat permanen atau temporer dan biasanya tidak terorganisir hingga kelompok-kelompok pergerakan ini tidak pernah dicatatkan dalam sejarah.
Pengaruh kolonialis Belanda yang melahirkan perasaan senasib dan sependeritaan selaku bangsa jajahan sudah barang tentu menimbulkan assimilasi budaya dan persamaan bahasa.

4.       Pengaruh Politis
Boleh dikatakan, suku yang cepat maju adalah suku Batak Toba, mungkin ini salah satu dampak positip dari datangnya penjajah. Lazimnya dimana Belanda menjajah didaerah itu pasti didirikan sekolah-sekolah Belanda, dan anak-anak daerah tersebut bisa bersekolah disana, sedang di daerah Pakpak terakhir dimasuki oleh Belanda mengakibatkan belum ada  berdiri sekolah-sekolah, dan cara pandang, cara berpikir serta wawasan orang Pakpak masa itu masih tradisonal, masih mempercayai dewa-dewa alam, justru itu di daerah Pakpak dulu terkenal dengan datu-datu atau guru-guru saktinya.
Karna orang Batak Toba sudah berpendidikan maka sudah barang tentu lebih maju, sudah banyak bekerja di Pemerintahan daerah dan Pusat, banyak jadi pengusaha.

Untuk mendapatkan dukungan politik maka selalu didengung-dengungkan bahwa Suku Pakpak dan Suku Karo adalah sub suku Batak hingga dikenal istilah Batak Pakpak dan Batak Karo.
Belakangan suku Pakpak dan Suku Karo meriset sendiri sejarah sukunya hingga tiba pada satu kesimpulan bahwa Pakpak dan Karo bukan sub suku tapi adalah suku yang berdiri sendiri dan mempunyai sejarah peradaban sendiri.
Ini dibuktikan, dulu dikenal dengan HKBP Simerkata Pakpak, tapi setelah Pakpak mengetahui sejararah sukunya maka orang Pakpak keluar dari Organisasi Gereja HKBP menjadi GKPPD yaitu Gereja Kristen Pakpak Dairi.

Jika dipersentasikan, mungkin hanya sekitar 10 % ada kemiripan, sedangkan 90 % perbedaan, contohnya di adat Batak Toba, Hula-Hula mangulosi Boru, tapi dalam adat Pakpak berru mengolessi kula-kula ( boru mangulosi hula-hula).

Adanya kemiripan bahasa, adat istiadat tidaklah dapat dijadikan sebagai tolak ukur persamaan, kemiripan jangan dipresepsikan keliru hingga sejarah menjadi keliru.

Sejarah yang benar jika materi sejarah tersebut diakui oleh seluruh masyarakat adatnya, dan yang bisa menuliskan sejarah sukunya secara benar adalah masyarakat suku itu sendiri bukan suku lain. Sejarah Bangsa Indonesia ditulis sendiri oleh orang Indonesia, jikapun ada tulisan-tulisan sejarah oleh ahli-ahli dari bangsa lain sifatnya hanyalah sebagai bandingan bukan acuan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar anda :