Suku-suku yang bermarga yang berada di Pulau Sumatera
bahagian Utara, yaitu Suku Pakpak, Suku Batak, Suku Karo, Suku Mandailing, Suku
Nias mempunyai kemiripan atas bahasa dan adat budaya meskipun kemiripan itu
sangat sedikit jika dibanding dengan perbedaannya.
Saya mengatakan ini tak terlepas dari prespektif dan
kacamata saya selaku seorang suku Pakpak. Saya bukanlah ahli sejarah namun
demikian saya meyakini semua orang pasti tau akan sejarah minimal sejarah
keluarganya, sejarah sukunya, sejarah bangsanya.
Perlu sedikit saya jelaskan, menurut pandangan suku Pakpak,
suku Batak adalah suku Toba yang didaerah Pakpak disebut dengan “ Suku Tebba
atau Kalak Tebba “. Suku Pakpak tidak mengakui kalau disebut sebagai “ sub suku
“ tapi suku Pakpak adalah suku yang berdiri sendiri, mempunyai sejarah asal
usul tersendiri.
Banyak pihak yang mempertanyakan, kenapa ada kemiripan dalam
bahasa, adat budaya antara Suku Pakpak, Suku Batak Toba, suku Karo, dll suku
yang bermarga di Sumatera wilayah Utara ?
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya assimilasi
atau percampuran budaya antara lain.
1.
Pengaruh kedekatan letak wilayah.
Letak wilayah Suku Pakpak, Suku Batak Toba,
Suku Karo adalah berbatasan, hingga dalam prakteknya hampir setiap saat terjadi
intraksi sosial atau hubungan langsung antara orang Pakpak, orang Toba dan
Orang Karo dll, dan akibat terjadinya interaksi antar orang berbeda suku ini
maka terjadi proses assimilasi atau percampuran budaya, baik bahasa dan adat
budaya.
Contoh : istilah Thanks atau terima kasih,
ini asli bahasa Inggris tapi seolah-olah telah memasyarakat di Indonesia,
contoh lain istilah Hallo yang diadopsi dari Bahasa Inggris.
Konsekwensi terjadinya intraksi sosial
secara langsung ini maka terjadi pula perkawinan campur yang berhubungan dengan
tata cara upacara adat yang digunakan dalam perkawinan tersebut.
Kedekatan wilayah juga mengakibatkan
terjadinya migran atau perpindahan penduduk yang dikenal istilah “ merantau “.
Banyak orang Pakpak yang merantau di Tanah Batak Toba (daerah Tapanuli) atau ke
Tanah Karo, dan sebaliknya orang Batak Toba dan Karo yang datang migran ke
Tanah Pakpak.
Kedatangan para migran ini sudah barang
tentu mempunyai potensi untuk merubah bahasa dan adat budaya hingga ada
kemiripan.
2.
Pengaruh masuknya agama
Dalam catatan sejarah kekristenan di
Sumatera bagian Utara, dikenal dengan Misionaris dari Jerman yaitu Nomensen.
Misionaris penyebar agama Kiristen dalam upaya penyebarannya menggunakan bahasa dan adat masyarakat setempat agar penyebaran
cepat diterima oleh masyarakat atau para jemaat pengikut Kristen.
Daerah-daerah yang pertama dimasuki oleh
Para Misionaris adalah Tapanuli Utara dan Tapanuli Selatan dan secara faktual
upaya penyebaran agama kristen cepat berkembang di daerah tersebut.
Ketika agama Kristen diperluas ke daerah
lain seperti Tanah Pakpak dan Tanah Karo, sistim dan cara-cara penyebaran di
Taput dan Tapsel diterapkan di daerah
garapan baru yaitu Tanah Pakpak dan Tanah Karo, bahakan sudah banyak orang
Tapanuli yang diikut sertakan oleh Misionaris dari Jerman ke Tanah Pakpak dan
Tanah Karo.
Pengaruh datang atau penyebaran agama
Kristen di Tanah Pakpak dan Karo sudah barang tentu mengakibatkan terjadinya
assimilasi budaya, terjadinya persamaan bahasa, persamaan adat dan budaya.
3.
Pengaruh Kolonialis Penjajah Belanda.
Semua daerah di Sumatera wilayah utara
dimasuki Penjajah Belanda, dan menurut sejarah daerah yang terakhir dimasuki
adalah Tanah Pakpak.
Karna daerah Pakpak ketika itu belum di
masuki Belanda maka daerah ini dijadikan oleh Sisingamangarja XII sebagai basis
pertahanan yaitu di daerah Gunung Simpon (Delleng Simpon) perbatasan antara
Ulumerah Pakpak Bharat dengan Batu Gajah Kecamatan Parlilitan Humbas.
Seluruh masyarakat di berbagai daerah
jajahan merasa senasip dan sependeritaan hingga terbentuk beberapa kelompok
pergerakan untuk melawan penjajah.
Kelompok-kelompok pergerakan ini banyak
yang terbentuk secara spontan tanpa mempermasalahkan suku, kelompok-kelompok
ini sangat banyak baik bersifat permanen atau temporer dan biasanya tidak
terorganisir hingga kelompok-kelompok pergerakan ini tidak pernah dicatatkan
dalam sejarah.
Pengaruh kolonialis Belanda yang melahirkan
perasaan senasib dan sependeritaan selaku bangsa jajahan sudah barang tentu
menimbulkan assimilasi budaya dan persamaan bahasa.
4.
Pengaruh Politis
Boleh dikatakan, suku yang cepat maju
adalah suku Batak Toba, mungkin ini salah satu dampak positip dari datangnya
penjajah. Lazimnya dimana Belanda menjajah didaerah itu pasti didirikan
sekolah-sekolah Belanda, dan anak-anak daerah tersebut bisa bersekolah disana,
sedang di daerah Pakpak terakhir dimasuki oleh Belanda mengakibatkan belum
ada berdiri sekolah-sekolah, dan cara
pandang, cara berpikir serta wawasan orang Pakpak masa itu masih tradisonal,
masih mempercayai dewa-dewa alam, justru itu di daerah Pakpak dulu terkenal
dengan datu-datu atau guru-guru saktinya.
Karna orang Batak Toba sudah berpendidikan
maka sudah barang tentu lebih maju, sudah banyak bekerja di Pemerintahan daerah
dan Pusat, banyak jadi pengusaha.
Untuk mendapatkan dukungan politik maka
selalu didengung-dengungkan bahwa Suku Pakpak dan Suku Karo adalah sub suku
Batak hingga dikenal istilah Batak Pakpak dan Batak Karo.
Belakangan suku Pakpak dan Suku Karo
meriset sendiri sejarah sukunya hingga tiba pada satu kesimpulan bahwa Pakpak
dan Karo bukan sub suku tapi adalah suku yang berdiri sendiri dan mempunyai
sejarah peradaban sendiri.
Ini dibuktikan, dulu dikenal dengan HKBP
Simerkata Pakpak, tapi setelah Pakpak mengetahui sejararah sukunya maka orang
Pakpak keluar dari Organisasi Gereja HKBP menjadi GKPPD yaitu Gereja Kristen
Pakpak Dairi.
Jika dipersentasikan, mungkin hanya sekitar 10 % ada
kemiripan, sedangkan 90 % perbedaan, contohnya di adat Batak Toba, Hula-Hula
mangulosi Boru, tapi dalam adat Pakpak berru mengolessi kula-kula ( boru
mangulosi hula-hula).
Adanya kemiripan bahasa, adat istiadat tidaklah dapat
dijadikan sebagai tolak ukur persamaan, kemiripan jangan dipresepsikan keliru
hingga sejarah menjadi keliru.
Sejarah yang benar jika materi sejarah tersebut diakui oleh
seluruh masyarakat adatnya, dan yang bisa menuliskan sejarah sukunya secara
benar adalah masyarakat suku itu sendiri bukan suku lain. Sejarah Bangsa
Indonesia ditulis sendiri oleh orang Indonesia, jikapun ada tulisan-tulisan
sejarah oleh ahli-ahli dari bangsa lain sifatnya hanyalah sebagai bandingan
bukan acuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar anda :